Beberapa waktu yang lalu, saya tersentuh banget waktu nonton film buatan seorang sineas Indonesia, judulnya Ziarah. Ziarah cerita tentang perjalanan seorang nenek, Mbah Sri, yang berumur 95 tahun (iya, itu ga salah ketik, beneran sembilan puluh lima tahun) untuk mencari makam suaminya. Suami Mbah Sri dulu adalah pejuang kemerdekaan. Sebelum suaminya pergi perang, beliau berpesan kalau beliau selamat, beliau akan pulang kerumah, tapi kalau ngga pulang, tolong diikhlaskan karena berarti beliau gugur di medan perang. Bertahun-tahun, Mbah Sri ziarah ke suatu tempat yang beliau anggap adalah makam suaminya, sampai suatu ketika beliau dapat cerita dari teman veteran lain mengenai tempat gugurnya sang suami. Pencarian panjang Mbah Sri bermula dari situ. Mbah Sri berharap, kalau beliau bisa menemukan makam sang suami yang sebenarnya, ketika meninggal nanti Mbah Sri bisa dimakamkan di sebelah pusaranya.
Dari situ penonton diajak untuk mengikuti perjalanan panjang Mbah Sri, dari satu informan ke informan lain, mengunjungi teman-teman veteran yang dianggap tau informasi mengenai lokasi makam suaminya. Yang bikin kagum adalah, di usia setua itu Mbah Sri pergi dari satu tempat ke tempat lain pakai kendaraan umum atau jalan kaki, dan bermodal nama suaminya aja sebagai hint untuk nanya ke orang-orang yang beliau temui. Penonton dibuat takjub dengan kesetiaan & kegigihan Mbah Sri untuk menemukan kejelasan lokasi makam suaminya. Sempat salah makam dan bahkan makamnya dibilang sudah berubah jadi danau.
Long story short, di akhir perjalanan super panjang itu, Mbah Sri dihadapkan dengan satu kenyataan yang… pahit.
Beberapa hari sesudah nonton Ziarah, hati saya rasanya masih nyesek kalau inget ceritanya. Ziarah, menurut saya berhasil untuk bikin saya mikir tentang plot ceritanya. Akhir film yang dibuat ngga eksplisit, bikin setiap penonton mungkin punya interpretasi yang beda-beda.
Untuk saya pribadi, sebagai orang yang suka ‘nginget’, Ziarah ini seolah ngajarin gimana caranya berdamai dengan kenangan dan kenyataan. Mbah Sri awalnya punya versi kenangannya sendiri; suami pamit pergi ke medan perang, lalu ngga pernah pulang, yang mana Mbah Sri simpulkan suami tewas. Tapi kenyataan berkata lain. Premis itu ngebuat saya mikir, kalau saya ada di posisi Mbah Sri, apa saya bisa ikhlas? memang mungkin harus terpaksa belajar ikhlas, toh hidup emang ga berbatas kenangan.
Kalau mengutip kata teman saya, kenangan itu sementara, kenyataan itu selamanya.
Sesudah nonton film ini, saya jadi inget sama cerita seorang teman saya dulu. Beberapa taun yang lalu, dia baru tau kalau dia diselingkuhi sama pacarnya dari seorang teman lain, ngga berapa lama setelah mereka putus. Teman saya memilih untuk diam, ngga mengkonfrontasi mantan pacarnya. Waktu itu saya bilang ke teman saya, kalau saya jadi dia saya bakal bilang kalau saya tau kalau dia selingkuh ke mantan pacar saya itu, supaya mantan saya tau kalau saya ngga bodoh. Tapi teman saya keukeuh untuk menyimpan sendiri. Dari Ziarah, saya jadi sedikit banyak mengerti, bagi sebagian orang, mungkin termasuk saya, berdamai dengan kenyataan atau masa lalu itu butuh effort yang sedemikian besarnya. Dan mungkin pada akhirnya, memang ngga semua hal di masa lalu perlu konfirmasi, apalagi kalau kita belum siap dengan segala kemungkinannya. Kalau ternyata kenyataan bicara terbalik dari apa yang kita ‘tau’, apa kita bisa seperti Mbah Sri yang lapang dada walaupun pahit?
Berhubung film ini sudah ngga ada di bioskop, saya rekomen banget sih nonton film ini kalau ada pemutaran lagi.
Ada satu kutipan dari Film Ziarah yang saya suka banget,
“Nek awake dewe kakehen ngrungokne suarane wong liyo. Awake dewe ora iso ngrungokne suarane awake dewe
Kalau kita terlalu banyak mendengarkan suara orang lain, kita ngga akan bisa mendengarkan suara kita sendiri”
Jadi kapan terakhir kita dengerin suara hati kita sendiri?